Posts

Prabowo Subianto, Gelapnya Keterbukaan Informasi Publik dan Ruang Aspirasi

Jurnalinti24news

 



Opini Oleh: 

Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL

Direktur LKBH Makassar 

Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081



Dalam jagat demokrasi, keterbukaan informasi publik ibarat matahari. Ia menerangi jalan rakyat agar tahu ke mana arah kapal bangsa dikemudikan. Namun, sejak era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, cahaya itu semakin meredup—bahkan mendekati gelap.

Di atas panggung kekuasaan, janji tentang good governance dan partisipasi publik terdengar merdu. Tetapi di balik tirai, praktik birokrasi justru menjauhkan rakyat dari ruang aspirasi yang seharusnya terbuka luas. Kritik, demonstrasi, dan suara berbeda makin mudah dicap sebagai ancaman keamanan.


 Padahal, konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan sekadar di ruang rapat kekuasaan.

Gelapnya Informasi Publik — Fakta di Ujung Nafas

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejatinya adalah tonggak emas. Ia mengukuhkan hak rakyat untuk tahu: bagaimana APBN dibelanjakan, siapa pemegang izin tambang, bagaimana utang negara dikelola, hingga bagaimana kebijakan pangan dirumuskan. UU ini dalam Pasal 2 ayat (1) menegaskan: “Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.” Tetapi dalam praktik, prinsip ini kerap dibelokkan dengan dalih “rahasia negara” atau “keamanan nasional”.

Baru-baru ini Komisi Informasi Pusat (KIP) merilis bahwa Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) nasional tahun 2023 mencapai 75,40; naik tipis dari 74,43 tahun 2022. Namun skor tersebut masih tergolong dalam kategori “sedang”.



 Pada 2024, skor meningkat sangat sedikit menjadi 75,65.

Artinya, setelah lebih dari 15 tahun UU KIP berlaku, pelaksanaan keterbukaan masih berada di zona yang jauh dari kritik maksimal. Mayoritas indikator—akses dan diseminasi informasi, partisipasi publik, literasi publik, proporsionalitas pembatasan keterbukaan—semuanya masih dalam angka‐70an dari skala 0–100.

Ruang Aspirasi yang Menyempit — Serangan di Dunia Nyata & Digital

Jika informasi adalah matahari, maka ruang aspirasi adalah udara yang membuat demokrasi bernapas. Tetapi kini udara itu makin tipis. Demonstrasi mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil kerap berujung represif. Kritik di ruang digital berhadapan dengan jerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).



Laporan Freedom House “Freedom in the World 2025” memberi gambaran bahwa Indonesia masih masuk kategori Partly Free, dengan skor 56 dari 100 untuk kebebasan politik dan sipil. Terdapat tantangan nyata: penggunaan UU ITE yang dipolitisasi, pembatasan atas kritik daring, regulasi baru—seperti UU ITE yang diamandemen dengan ketentuan terhadap informasi yang diduga palsu dan pencemaran nama baik—yang tetap memicu kegelisahan terhadap kebebasan berekspresi online.



Data terbaru dari laporan situasi hak digital “Ha Digital Indonesia Triwulan I 2025” yang dibuat oleh SAFEnet menunjukkan bahwa ada 139 kasus serangan digital pada Januari–Maret 2025, hampir dua kali lipat dibanding kuartal I tahun sebelumnya yang hanya 60 kasus. Sekitar 59,71% dari kasus serangan digital tersebut menarget kelompok yang kritis terhadap pemerintahan.

Dimensi Akademis dan Yurisprudensi

Kegelapan informasi publik dan sempitnya ruang aspirasi bukan hanya soal etika politik, tetapi juga pelanggaran hukum. UU KIP, Pasal 4, menegaskan hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik. UU Pers menjamin kebebasan pers. Bahkan, Pasal 28F UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi...”

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa keterbukaan informasi adalah asas, pengecualian adalah pengecualian yang harus ditafsirkan ketat. Begitu pula, beberapa putusan Komisi Informasi Pusat telah memutus bahwa dokumen publik seperti kontrak pertambangan merupakan informasi yang wajib dibuka.

Baru pada April 2025, Mahkamah Konstitusi dalam suatu perkara lingkungan melarang pemerintah atau perusahaan mengajukan gugatan pencemaran nama baik (defamation) terhadap individu yang mengkritik mereka secara sah. Hanya pribadi yang dirugikan yang dapat mengajukan gugatan—ini adalah langkah besar untuk membatasi penyalahgunaan UU ITE dan pembungkaman kritik.


Antara Cahaya yang Remang dan Kegelapan yang Nyata

Demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan: antara cahaya konstitusi dan gelap kekuasaan. Cahaya hukum masih ada, tetapi langkah politik cenderung menarik bangsa ke arah kegelapan.

Data-data terbaru menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit peningkatan dalam IKIP, ruang informasi publik dan kebebasan berekspresi masih jauh dari ideal. Serangan digital yang meningkat, regulasi yang belum mampu menjamin keamanan kritis transparan, serta praktik hukum yang terkadang ambigu, semua memperlihatkan bahwa janji demokrasi masih sekadar janji di atas kertas.

Jika keterbukaan informasi terus dirusak, jika ruang aspirasi kian ditutup, maka rakyat hanya akan menjadi penonton—bukan aktor—dalam panggung demokrasi. Sejarah reformasi 1998 membuktikan bahwa suara rakyat yang ditekan akan mencari jalannya sendiri.

Prabowo Subianto, dengan segala wibawa militer yang dimilikinya, harus ingat: bangsa ini tidak sedang berada di barak, tetapi di rumah demokrasi. Bila gelap terus dibiarkan, rakyat akan menyalakan obor perlawanan. Karena cahaya kebenaran, sebagaimana ditegaskan konstitusi dan hukum, tak pernah bisa dipadamkan selamanya.


Antara Cahaya yang Remang dan Kegelapan yang Nyata


Demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan: antara cahaya konstitusi dan gelap kekuasaan. Cahaya hukum masih ada, tetapi langkah politik cenderung menarik bangsa ke arah kegelapan.


Data-data terbaru menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit peningkatan dalam IKIP, ruang informasi publik dan kebebasan berekspresi masih jauh dari ideal. Serangan digital yang meningkat, regulasi yang belum mampu menjamin keamanan kritis transparan, serta praktik hukum yang terkadang ambigu, semua memperlihatkan bahwa janji demokrasi masih sekadar janji di atas kertas.


Jika keterbukaan informasi terus dirusak, jika ruang aspirasi kian ditutup, maka rakyat hanya akan menjadi penonton—bukan aktor—dalam panggung demokrasi. Sejarah reformasi 1998 membuktikan bahwa suara rakyat yang ditekan akan mencari jalannya sendiri.


Prabowo Subianto, dengan segala wibawa militer yang dimilikinya, harus ingat: bangsa ini tidak sedang berada di barak, tetapi di rumah demokrasi. Bila gelap terus dibiarkan, rakyat akan menyalakan obor perlawanan. Karena cahaya kebenaran, sebagaimana ditegaskan konstitusi dan hukum, tak pernah bisa dipadamkan selamanya.


Saran untuk Presiden

Untuk itu, ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh Presiden Prabowo Subianto bila ingin meninggalkan warisan demokrasi yang terang, bukan yang muram:


1. Menguatkan Implementasi UU KIP – Pemerintah harus konsisten membuka informasi publik, kecuali yang benar-benar menyangkut rahasia negara dengan kriteria ketat. Setiap badan publik wajib tunduk pada prinsip maximum disclosure, bukan maximum secrecy.



2. Melindungi Ruang Aspirasi – Presiden perlu memastikan bahwa aparat keamanan tidak lagi memandang kritik dan demonstrasi sebagai ancaman, tetapi sebagai vitamin demokrasi. UU ITE harus direvisi lebih progresif agar tak lagi jadi palu godam pembungkam suara rakyat.



3. Mendorong Transparansi Digital – Di era serangan siber yang meningkat, pemerintah harus memimpin dengan memberi teladan: membuka data, memperkuat literasi digital, dan melindungi aktivis serta jurnalis dari represi digital.



4. Membuka Partisipasi Bermakna – Setiap kebijakan strategis, mulai dari tambang, pangan, hingga utang negara, harus dirumuskan dengan partisipasi publik yang tulus, bukan formalitas belaka. Mekanisme konsultasi publik dan audiensi harus dihidupkan kembali.



5. Menghidupkan Etos Reformasi – Reformasi 1998 lahir dari tuntutan keterbukaan dan ruang aspirasi. Presiden Prabowo, sebagai bagian dari sejarah bangsa, seharusnya tidak melupakan bahwa cahaya reformasi adalah fondasi keberlangsungan republik.




Jika langkah-langkah itu ditempuh, maka cahaya keterbukaan akan kembali bersinar, dan demokrasi Indonesia dapat bernapas lega. Rakyat tidak lagi berjalan di jalan gelap, melainkan di jalan terang yang dipandu oleh konstitusi dan nurani bangsa.


*Tentang Penulis : Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur. Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara. Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, S.H. & Rekan, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. 085340100081